DI BALIK GAME ONLINE ITU..

Game online telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam 12 tahun belakangan ini. Perkembangan ini terlihat dari banyaknya pusat game di kota-kota besar maupun kecil. Berkat perkembangan teknologi, terutama internet, game yang dulunya dimainkan maksimal oleh dua orang, sekarang dapat dimainkan bersama dengan 100 orang lebih dalam waktu yang bersamaan. Sejak muncul pertama kali di Indonesia tahun 2001 melalui Nexian Online, game online mulai menjadi perhatian para pengusaha yang ingin memulai mengembangkan jaringan bisnis mereka. Tak lama setelah kemunculannya, setidaknya terdapat 20 judul game online yang beredar dengan genre yang bermacam-macam. Bisnis game online di dalam negeri masih besar, disebabkan ekonomi Indonesia yang tumbuh di atas 6% dari tahun ke tahun. Jumlah pemain game online di Indonesia meningkat antara 5%-10% setiap tahunnya, terutama karena semakin pesatnya infrastruktur internet.

Industri game di Indonesia menghasilkan pendapatan US$190 juta sepanjang tahun 2013 dengan tingkat pertumbuhan 35% dibanding tahun sebelumnya. Ada lebih dari 25 juta pemain game online di Indonesia, menunjukkan tren gaming yang sangat menjamur. Namun, dibalik angka yang ‘fantastis’ tersebut terdapat hal tersembunyi yang saat ini masih dikaji oleh para ilmuwan komunikasi, khususnya di bidang teknologi komunikasi, tidak hanya dampak penggunaan game online pada anak anak, namun juga penelitian mendalam mengenai masalah ini. Hal paling umum yang sering kali disoroti adalah dampak dari game online maupun internet itu sendiri. Seymour Papert (1993), misalnya, berpendapat bahwa komputer membawa bentuk-bentuk baru pembelajaran, yang melampaui batasan metode linear lama seperti cetak dan televisi. Anak-anak yang terlihat paling responsif terhadap pendekatan-pendekatan baru ini: komputer entah bagaimana melepaskan kreativitas alami mereka dan keinginan untuk belajar, yang diblokir dan frustrasi oleh metode-metode lama. Yang lain berpendapat bahwa komputer memberdayakan anak-anak untuk berkomunikasi satu sama lain, untuk mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Jon Katz (1996), misalnya, menganggap Internet sebagai sarana pembebasan anak-anak: ia memberi anak-anak peluang untuk melarikan diri dari kendali orang dewasa, dan untuk menciptakan budaya dan komunitas mereka sendiri. 'Untuk pertama kalinya', dia berpendapat, 'anak-anak dapat melewati batas-batas yang menyesatkan dari konvensi sosial, melewati gagasan kaku orang tua mereka tentang apa yang baik bagi mereka' (1996: 122).

Lalu, Don Tapscott (1997) berpendapat bahwa Internet menciptakan 'generasi elektronik' yang lebih demokratis, lebih imajinatif, lebih bertanggung jawab secara sosial dan lebih baik informasi dari generasi sebelumnya. Teknologi digital, menurutnya, pada akhirnya akan menghasilkan 'ledakan generasi', 'kebangkitan sosial' yang akan menggulingkan hierarki pengetahuan dan kekuasaan tradisional.

Di sisi lain, ada banyak laporan negatif tentang dampak dari media baru ini pada kehidupan anak-anak. Akun ini berfokus tidak begitu banyak pada potensi pendidikan mereka, tetapi pada peran mereka sebagai sarana hiburan dan itu tergantung pada pembuatan perbedaan mutlak antara keduanya. Beberapa kecemasan yang secara teratur dilatih sehubungan dengan televisi kini telah terbawa ke media baru ini. Dengan demikian, media digital sering dilihat sebagai pengaruh buruk pada perilaku anak-anak dan khususnya untuk menyebabkan kekerasan peniruan. Acara seperti penembakan di Columbine High School di Colorado, AS pada tahun 1999 sering disalahkan pada permainan komputer yang kejam atau akses anak-anak ke 'situs kebencian' di World Wide Web. Semakin banyak efek grafis 'realistis' menjadi, semakin diperdebatkan, semakin besar kemungkinan mereka mendorong perilaku 'copycat' (Provenzo, 1991).

Sementara itu, media baru dituduh membuat anak-anak antisosial, dan menghancurkan interaksi manusia normal dan kehidupan keluarga. Fenomeon dari 'Otaku-zoku' atau 'suku tinggal di rumah' di Jepang dipandang sebagai simbol dari cara-cara di mana orang-orang muda datang untuk lebih memilih jarak dan anonimitas interaksi tatap muka virtual (Tobin, 1998). Media ini juga terlihat memiliki efek moral dan ideologi negatif pada anak-anak. Dengan demikian, permainan permainan dipandang sebagai aktivitas yang sangat jender, yang memperkuat stereotip tradisional dan model peran negatif, dan mendorong kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sementara itu, ada peningkatan kecemasan tentang aksesibilitas pornografi di Internet, dan tentang bahaya anak-anak yang digoda oleh pedofil online. Dan akhirnya, ada kekhawatiran yang berkembang tentang praktik pemasaran online untuk anak-anak, baik melalui penjualan langsung dan melalui pengumpulan data riset pasar (Schor, 2004).

Pada masa ini, anak-anak merupakan salah satu target pasar yang paling signifikan untuk new media yang berbasis game online. Bahkan, jika kita melihat lebih seksama, rumah dengan anak-anak memiliki kemungkinan memiliki perangkat komputer lebih tinggi. Ini semua menyebabkan terjadinya fenomena yang bernama intertekstualitas transmedia. Sederhanya intertekstual media dapat diartikan paparan yang masif dari game online terhadap berbagai macam seperti iklan koran, televisi, hingga pernak pernik sekolah. Lalu contohnya adalah ketika kartun Spongebob sedang booming, maka secara otomatis banyak produk anak-anak yang bertemakan Spongebob. Misal ketika kita sedang berada di toko alat tulis maka ada buku,pensil,tas bertemakan Spongebob, lalu ketika kita berada di toko sepatu kita juga menemukan sepatu bergambar Spongebob. Begitupula dengan mainan juga diwakilkan dengan karater Spongobeb hingga game online-pun juga bertemakan Spongebob.

Hal tersebut dapat mempengaruhi anak anak menjadi semakin konsumtif. Tentunya bermain  game online membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menyewa perangkat komputer di warnet atau membeli kuota. Pola konsumsi masyarakat bisa saja bergeser ke arah konsumtif untuk pemenuhan hobi yang tidak sesuai dengan pendapatan.  


Namun hal ini bukanlah yang terparah, pda tahun 2015 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai terdapat delapan game online yang berbahaya bagi anak. Ini lantaran dalam kedelapan game online tersebut ditengarai dapat membahayakan perkembangan anak-anak Indonesia. Delapan game online berbahaya yang dimaksud adalah World of Warcraft (Blizzard, Indogamers), Call of Duty (Activision), RF (Rising Force) Online (LYTO), AION (NCSoft, Indogamers), Counter Strike (Megaxus), Lost Saga (Gemscool), Point Blank (Gemscool), dan Gunbound (Bolehgame, segera di LYTO Classic). Selain kekerasan, game online ini juga dinilai mengandung unsur pornografi dan perjudian yang bisa berpengaruh pada pertumbuhan anak. Menurut data KPAI, saat ini ada 13 ribu anak yang intens mengakses internet dengan berbagai tujuan, termasuk game online. Jumlah tersebut belum termasuk anak-anak yang mengakses internet hanya untuk mengelola akun media sosial mereka. Hal itu membuktikan bahwa berdasarkan para ilmuwan komunikasi yang sudah mempelajari game online selama bertahu tahun, game online dipandang sebagai teks, yang berati game online ini terdapat ideologi tersembunyi yang ingin ditanamkan pada anak anak. Sehingga, kita sebagai masyarakat perlu lebih bijaksana dalam memilah game online mana yang cocok untuk anak anak di sekitar kita.



Referensi
http://www.tribunnews.com/iptek/2014/01/31/ada-25-juta-orang-indonesia-doyan-main-game-online
http://nabilapaung.blogspot.co.id/2016/04/dampak-fenomena-intertekstualitas.html
https://www.duniaku.net/2015/06/06/delapan-game-online-berbahaya/
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Chapter 3 : CHILDREN AND NEW MEDIA

Komentar

Postingan Populer